Sekarang ini sudah tak ada lagi
yang namanya Tano (tanah) Batak. Semua tanah di sekitar kawasan Danau Toba yang
selama ini dikenal sebagai Tano Batak sudah dikapling dan dijual kepada
investor. Bahkan tanah-tanah adat juga ikut dieksploitasi. Dengan kenyataan
itu, maka sesungguhnya orang Batak sudah kehilangan salah satu yang paling
mendasar dalam kebudayaannya.
“Tanah tidak bisa dipisahkan dari
kebudayaan Batak. Dalam budaya Batak, tanah terbagi atas beberapa fungsi.
Terutama tanah adat. Secara komunal (bersama) ada tano parmahanon
(penggembalaan) tano pangulaan ( bercocok tanam). Tanah itu boleh digunakan,
tetapi tidak bisa dimiliki perorangan,” jelas Ketua Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), Roganda Simanjuntak, ketika markombur di Jong Bataks Arts
Festival, 30 Oktober lalu.
Kini seiring dengan hilangnya
peran bius dan perangkat adat lainnya, pengelolaan tanah adat itu tak lagi
diterapkan. Bahkan tanah adat telah banyak yang hilang. Tepatnya dirampas para
investor. Salah satu kasus seperti yang dikemukakan Sitanggang, salah seorang
korban perampasan tanah asal Samosir, yang ikut markombur di Lapo Jong.
Sitanggang mengisahkan perjuangan selama bertahun-tahun merebut kembali tanah
leluhurnya itu, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Ia mengaku sering diteror bahkan pernah
dicederai orang tak dikenal.
“Soal tanah adat memang seksi
untuk dibicarakan. Bukan hanya investor atau pemerintah yang bermain, tapi juga
orang-orang kampung, termasuk keluarga si pemilik tanah. Fakta ini kami temukan
di beberapa kasus yang pernah kami tangani,” kata Toni.
“Jangan-jangan karena banyak
orang Batak yang sudah tak mengenal adatnya lagi, maka tanah adatnya pun
hilang,” celetuk Hendra Ginting. Hendra pun mengisahkan pengalamannya. Tanah keluarganya
juga ikut hilang. Setelah dilacak, tahu-tahunya tanah itu sudah diambil orang
dengan memalsukan surat tanahnya.
“Ah, zaman sekarang apa yang tak
bisa dikerjakan orang. Jangan-jangan itu kerjaan para perantau, atau NGO
bekerjasama dengan orang setempat.
Soalnya kan mereka yang tahu mana tanah yang kira-kira bisa dicaplok.
Maklum dulu kan tak ada surat-surat. Apalagi jika statusnya tanah adat. Kalau
pun ada, gampang aja dimanipulasi,” celoteh Jones yang mengaku pernah
berhadapan dengan mafia tanah.
“Selain tak lagi punya tanah,
orang Batak juga tak punya tokoh yang bisa menjadi panutan. Kalau pun ada yang
menonjol, justru mereka-mereka itu yang sering membuat keributan di tanah
leluhurnya sendiri. Jangan-jangan selama ini mereka yang menggadang-gadang tanah
adat orang Batak,” aku Aquardes Pakpahan, di markombur itu.
Sekedar informasi, selain
markombur, pada hari yang sama juga digelar lomba vokal solo tingkat SMU yang
diikuti 31 peserta. Sedangkan lomba tari
untuk tingkat SMP, digelar pada 31 Oktober yang diikuti 10 kelompok.
0 komentar:
Posting Komentar