Pada hari ketiga perhelatan Jong
Bataks Arts Festival (JBAF) akan menampilkan ragam seni dan budaya dengan
nuansa Simalungun. Beberapa materi yang ditampilkan, antara lain, pada sorenya
“markombur” di Lapo Jong serta workshop penulisan aksara Batak. Sementara pada
malamnya harinya, akan digelar pemutaran sekaligus lounching video klip dari
kelompok musik Horja Bius dari Jakarta, pimpinan Mogan Pasaribu. Horja Bius
sendiri adalah grup musik Toba yang lirik-lirik lagunya diambil dari
tonggo-tonggo atau doa-doa tradisional yang lazim digunakan masyarakat tradisi
Batak Toba di masa lalu.
Selain itu, juga akan tampil
perform arts dari Martahan Sitohang yang kini berdomisili di Jakarta. Martahan
Sitohang sendiri baru-baru ini meraih penghargaan dari MURI untuk penampilan gondang terbanyak se
Indonesia. Martahan akan menampilkan beberapa reportoar musik Simalungun.
Sekaligus ia juga akan share tentang pengalamannya yang berjuang memasukkan
musik Batak dari gereja ke gereja yang
ada di Jakarta.
Sedangkan pada 28 Oktober, Jong
Bataks Arts Festival akan dibuka dengan karnaval (pawai budaya) yang
berlangsung mulai pukul 10 pagi. Pawai budaya akan diikuti ratusan pelajar dan
pemuda yang mengambil titik keberangkatan dari Taman Budaya Sumatera Utara
menuju Lapangan Merdeka-Lapangan Benteng- dan kembali ke Taman Budaya Sumatera
Utara. Sore harinya tepat pukul 15.00 akan dipentaskan Opera Jong Batak untuk
sesi pertama. Sedangkan sesi kedua (pada hari yang sama) Opera Jong Bataks akan
berlangsung pada pukul 19.30. Opera Jong Bataks ini akan dimainkan sekitar 150
orang, yang terbagi atas pelakon, pemusik dan penari. Mereka antara lain
gabungan para pelajar dari Binjai, mahasiswa Unimed dan mahasiswa Nommensen.
Satir Markombur
Sebelumnya di hari kedua, Jong
Bataks Arts Festival diisi dengan “markombur” yang membahas soal status versus
eksistensi seniman. Dalam ngobrol ngalur ngidul itu, terbersit bagaimana status
seniman “tidak dianggap”.
“Kalau pelukis kan lebih kaya dibanding
PNS. Bisa punya rumah dan mobil banyak. Ya, paling tidak di atas kanvas,”
celoteh Fredico Purba, seorang pelukis dari Unimed.
Hendra Ginting yang berprofesi
sebagai musisi jalanan tak mau kalah. Pemuda bersuara serak ini berceloteh.
“Kalau kami pengamen ini gak kalah dari karyawan. Makan enak setiap hari. Siap
makan nyanyi, siap nyanyi makan,” kelakar Hendra.
Kelakar Hendra ditimpali Andi
Siahaan, seorang fotografer. Andi Siahaan mengaku mulai merasakan stigma
negatif masyarakat terhadap seniman.
“Ia sudah ditanya-tanya. Kerjamu
apa? Kantormu dimana? Ya kujawab aja, kantorku adalah alam semesta,” jelas Andi
terpingkal-pingkal.
Ngalur ngidul itu pun menyerempet
ke masalah psikologi, sosial, politik dan ekonomi bangsa ini. Menurut Direktur
RKI, Jones Gultom yang ikut markombur, masyarakat kita sedang sakit. Tidak tahu
lagi menjalani hidup senang. “Seniman jangan mau ikut-ikutan sakit. Caranya ya
tetap harus berkaya,” jelas Jones.
0 komentar:
Posting Komentar